PLURALISME
PLURALISME SEBAGAI KEPELBAGAIAN DAN PLURALISME SEBAGAI KETERHUBUNGAN
BAB I
PENDAHULUAN
Dunia sekarang
ini bercirikan kemajemukan/pluralitas. Kebnayakan orang yang tinggal di daerah
perkotaan saling bersentuhan dengan orang-orang yang berbeda ras, suku,
kebudayaan dan agama. Keadaan yang muncul akibat urbanisasi yang
melonjak,begitu banyak orang mengharapkan dapat merubah nasib dengan
berkecimpung di kota-kota dengan meninggalkan pedesaan dan tanah pertanian
mereka. Arus perpindahan penduduk yang lebih luas lagi adalah lajunya imigrasi
dari negara satu ke negara yang lainnya.
Bangkitnya ilmu
pengetahuan sejak abad ke-17 dan perkembangan intelektual serta politik pada
abad ke-18 telah menjadi salah satu faktor perubahan tersebut. Keadaan mana
berbeda dengan situasi bangsa-bangsa Eropa yang berabad-abad hidup dalam
struktur yang mungkin cukup koheren.[1]
Kemajemukan yang
ada di negara-negara Asia (termasuk Indonesia) menjadi sesuatu yang menarik
untuk diperhatikan. Indonesia merupakan negara kepulauan yang jumlah
penduduknya sangat banyak (sekitar 17.000 pulau). Akibatnya peluang sangat
besar untukkeberagaman adat dan bahasa karena keterpisahan satu dari yang lain.
Di samping itu berkembang juga agama-agama yang beraneka ragam, seperti agama
Hindu, Budha, Isalm, Kristen Protestan dan Kristen Katolik serta Kon Hu Cu,
yang dianut oleh penduduk Indonesia. Ditambah lagi dengan adanya kepercayaan
masyarakat asli yang beragam di daerah-daerah. Keanekaragaman lainnya yang
dapat disebutkan di sini juga, yaitu keadaan sosial masyarakat Indonesia; ada
kelompok yang sudah maju, ada yang belum bahkan banyak sekali yang ketinggalan;
ada yang sudah mapan dari segi ekonomi (bahkan berkelebihan) namun banyak
sekali yang miskin. Ini juga menunjukkan salah satu dari kemajemukan yang ada
di Indonesia (multi kompleks).
Pancasila
sebagai ideologi Negara yang bersifat terbuka dan inklusif semestinya memberi
kemungkinan bagi masyarakat yang majemuk ini untuk tetap bersatu padu sebagai
satu bangsa. Pancasila juga perlu ditekankan sebagai azas yang memiliki tenaga
integratif yang memperkukuh kesatuan. Dengan demikian semboyan Bhineka Tunggal
Ika yang mensyaratkan kesatuan di tengah keragaman menjadi sesuatu yang riil
dan harus terus dirawat, sebab kerukunan dalam kemajemukan bukanlah sesuatu
yang dengan sendirinya ada (terjadi).
Mengamati
kemajemukan agama yang ada di Indonesia kita mesti melihat dari dua sisi, yakni
dapat menjadi sumber pemersatu, tetapi dapat juga menjadi sumber pemecah.
Pluralitas agama ini dapat memberi bermacam warna yang memperkaya kehidupan
bersama. Sebaliknya, dapat juga menimbulkan berbagai perbedaan, ketegangan dan
konflik antar kelompok dan golongan. Pertanyaan yang muncul adalah “apakah
agama sebagai sumber konflik?”, “dimakanakah nilai-nilai luhur agama itu?”,
“tidakkah semua agama bermuara pada sesuatu yang baik dan kebahagiaan bagi para
penganutnya?” pertanyaan-pertanyaan ini sepatutnya menimbulkkan sikap kritis
terhadap segala bentuk konflik yang telah terjadi di negara Indonesia ini, agar
agama tidak selalu dijadikan “kambing hitam” atas rekayasa politik individu
atau kelompok tertentu yang ingin menghancurkan keutuhan bangsa dan negara ini.
Berkaitan dengan
ini maka setiap pemeluk agama harus mempunyai sifat terbuka terhadap perspektif
lain dari yang sudah melekat dalam diri sendiri. Dengan demikian tembok-tembok
pemisah tidak lagi dibiarkan berdiri dan ditemukannya pemahaman mengenai yang
lain sekaligus mencari jalan keluar pemecahan masalah yang dapat diterima
bersama. Di situlah akan menjadi syarat keberhasilan kemantapan kerukunan
nasional.
BAB II
PLURALISME AGAMA DI
INDONESIA
II.1. pluralitas dan Pluralisme.
Pluralitas
dan pluralisme berasal ari kata dasar yang sama, yaitu plural yang berarti jamak. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah pluralitas tidak ada, yang ada
hanya pluralisme yang dijelaskan sebagai “hal yang mengatakan jamak atau tidak
satu.”[2]
Sebagaimana
yang telah disinggung dalam Bab Pendahuluan, bahwa kondisi obyektif Indonesia
bukan hanya sebuah negara dengan ribuan pulau, gunung, aneka suku serta tradisi
kultural yang dimilikinya, tetapi juga sebuah negara dimana di dalamnya hadir
dan hidup berbagai agama, baik keenam agama resmi yang diakui oleh negara
maupun aliran berbagai kepercayaan yang ada di daerah-daerah. Dengan kata lain,
Indonesia merupakan masyarakat majemuk (plural) juga dalam hal keagamaan.
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa pluralitas berarti kemajemukan yang
lebih mengacu kepada jumlah yang jamak dan pada perbedaan antara yang satu
dengan yang lainnya. Namun pluralisme agama lebih mengarah kepada kemajemukan
paham tentang agama, dimana implikasi dari kemajemukan itu merupakan sesuatu
yang signifikan. Oleh sebab itu pemahaman bahwa sesungguhnya agama itu berawal
dari kesadaran manusia tentang relasinya dengan suatu kuasa yang transendental
yang dialaminya secara eksistensial, baik itu melalui gejala alam maupun
melalui daya pikir manusia. Pemahaman ini akan menuntun pada kesimpulan bahwa
kuasa yang transenden, yang absolut itu, menyatakan dirinya melalui berbagai
cara kepada yang imanen dalam keanekaragamannya. Agama bermula secara
manusiawi, yakni pengalaman manusia yang paling mendasar dan bukan menunjuk
pada suatu konsep teori atau lembaga agama. Cara merespons yang absolut itu
ditambah dengan kepercayaan dan kepasrahan diri, yang menimbulkan bermacam
sistematisasi nilai-nilai yang disebut agama.
II.2. Pluralisme sebagai
keterhubungan.
Sebagai
masyarakat yang berazaskan Pancasila, kemajemukan agama menjadi kebanggan kita.
Ada makna tersendiri yang terkandung di dalamnya karena itu diperkaya dengan
aliran-aliran agama dan pengetahuan tentangnya. Oleh karena itu kemajemukan
agama yang ada di Indonesia sangat diharapkan menjadi realitas yang berperan
dalam meningkatkan moral bangsa. Agama-agama yang ada itu juga diharapkan dapat
memberikan sumbangan positif dalam menumbuhkan motivasi, memberi inspirasi dan
stimulasi demi pembangunan bangsa dan negara. Dengan cara itulah agama-agama
menjalankan fungsi sosialnya.[3]
Lebih
rinci lagi dijelaskan oleh Hadinoto tentang garis besar fungsi agama, anatar
lain:
- Fungsi integritas. Kata agama berasal dari kata religi dengan akar kata religere yang berarti yang mengikat. Oleh karena itu agama adalah pengikat, pemersatu para penganutnya dalam perasaan, loyalitas terhadap ajaran nabi, ucapan ritual dan lain-lain.
- Fungsi pemberi arah dan tujuan pada kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah memerlukan suatu tujuan yang bermakna bagi dirinya maupun bagi kelompok. Agama menunjukkan arah yang bermakna dan transendental.
- Fungsi moral. Dapat menumbuhkan motivasi, mendorong manusia sebagai mahkluk bermoral hidup, berpikir dan bertindak.
- Fungsi sebagai pemberi jawab terhadap pertanyaan-pertanyaan akhir.[4]
Ada pendapat
mengatakan bahwa ada nilai-nilai yang dimiliki bersama dan nilai-nilai itulah
yang bisa mempertemukan agama-agama untuk mengembangkan kehidupan bersama.
Beberapa nilai itu, seperti nilai keadilan, kemanusiaan, kebenaran dan
lain-lain yang memang bisa saja dimiliki bersama dan sampai pada tingkat tertentu
bisa diperjuangkan bersama. Namun hal ini akan berujung pada sebuah pertanyaan
yang mempertanyakan kriteria apa yang digunakan untuk mengukur sebuah keadilan,
kebenaran atau nilai-nilai kemanusiaan. Bila kriteria itu berasal ari yang
absolut itu berarti tergantung pada keyakinan masing-masing.
Berkaitan
dengan kerukunan hidup beragama dalam menunjang integritas bangsa, maka akan
dikemukakan beberapa peluang yang mungkin ada, yaitu:
- Pada prinsipnya semua agama bertujuan untuk menyejahterakan para pemeluknya, menolong orang miskin dan teraniaya. Persamaan pandangan tersebut memungkinkan berbagai agama untuk bekerjasama melakukan kegiatan penanggulangan kemiskinan.
- Agama-agama di Indonesia bersedia mengembangkan wawasan yang inklusif.
- Hubungan kekerabatan di Indonesia dapat meredam pertentangan antar-umat beragama.
- Dalam masyarakat secara tradisional ada kebiasaan (adat) yang sudah melembaga untuk memelihara ketertiban masyarakat, seperti adat pela di Maluku,Mapalus di Minahasa, Rumah Betang di kalangan suku Dayak di Kalimantan Tengah.
- Berbagai upaya pemerintah dalam upaya mendekatkan perbedaan dalam masyarakat yang mendapat dukungan dari semua pemuka agama dan warga masyarakat penganut agama itu sendiri.
- Adanya dampak positif dari globalisasi yakni di bidang informasi dan ekonomi, wawasan keberagamaan masyarakat mestinya semakin meningkat seiring kemudahan emmperoleh pengetahuan agama dari berbagai media komunikasi.[5]
Penjelasan tadi
menunjukkan bahwa di tengah-tengah arus modernisasi yang berakibat memudarnya nilai-nilai
moral, etik dan spiritual, justru kebangkitan agama-agama di Indonesia
mendapatkan tempat yang subur dan ditunjang oleh pemerintah secara positif dan
konstruktif. Di sinilah agama-agama dapat mewujudkan tanggung jawab etis
moralnya untuk memberi motivasi dan inspirasi bagi Pembangunan Nasional sebagai
pengamalan Pancasila.[6]
Upaya-upa
tersebut akan benar-benar menjadi bermakna apabila tidak sekadar berupa
rumussan-rumusan baku, tekstual dan formal tanpa terwujud dalam sikap
keteladanan. Lebih lagi misi kemanusiaan dan nilai-nilai moral itu tidak
berhenti di tapal batas bangsa atau negara melainkan bersifat universal.
Menjangkau semua orang dalam segala lapisan dan di seluruh dunia. Ajaran semua
agama sama, dalam hal sebagai pelopor hal-hal baik yang dimulai dari skala
terkecil yakni diri sendiri.
PGI sebagai
institusi formal di tengah-tengah bangsa dan negara Indonesia ini bersama
Gereja-gereja anggota berjuang dan secara terus menerus berpartisipasi secara
positif, kreatif, kritis dan realistis di tengah era reformasi sebagai
pengamalan Pancasila. Hal ini tercermin dalam Tema dan Subn Tema SR XI PGI 1986
di Surabaya, ayitu “Bersama-sama menanggulangi kemiskinan dalam rangka PNSPP
menuju tinggal landas”.[7]
Yang menjadi
perhatian penting juga dalam hal ini adalah di dalam agama manusia menjalin
relasi dengan Allah dan sesama. Namun demikian agama tidak boleh didewakan
dengan membelenggu Allah dalam tatanan struktur ajaran dan nilai agama,
sehingga agama jauh lebih besar dari manusia bahkan Allah. Bersama dengan itu
maka prapaham yang dianggap tidak lagi cocok dengan konteks Indonesia yang
memiliki banyak perbedaan, semestinya ditransformasi (misalnya prapaham
fundamentalis).[8]
Karena dibalik kepelbagaian yang sesungguhnya dalam ajaran-ajaran agama mengenai
tujuan dan pola kehidupan, tersembunyi suatu struktur soteriologis. Sebagaimana
pandangan John Hick, komunitas-komunitas keagamaan di dunia dapat dipandang
seolah-olah, sebagai komunitas yang soteriosentris secara pluralistis dalam
doktrin tentang apa yang sesungguhnya menjadi tujuan hidup sejati.[9]
II.2.1. Berbagai pergumulan dan tantangan menuju kerukunan.
Hidup
dalam kedamaian selalu menjadi harapan setiap orang. Kedamaian lahir dan batin
yang memungkinkan manusia untuk bebas menjalankan kehidupannya dengan tidak
mengganggu atau diganggu oleh orang lain. Banyak orang menggantungkan harapan
itu kepada penguasa (negara-pemerintah) dan aparat penegak hukumnya serta
kepada Tuhan berdasarkan keyakinan yang dianutnya. Jika demikian apakah agama
itu sendiri merupakan faktor pendukung perdamaian? Pada dasarnya, setiap agama
mengajarkan kerukunan, tanpa perang, apalagi ketika penyebaran agama itu
dilakukan. Namun mengapa pertentangan justru semakin menjadi panas dalam nuansa
keagamaan, ketimbang latar belakang yang lainnya? Mungkin saja diakibatkan
setiap orang tidak memegang kemurnian agamanya masing-masing.
Kenyataan
seperti inilah yang terus menerus menjadi pergumulan Gereja-gereja di
Indonesia. Seolah-olah ikatan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia mengalami
goncangan yang luar biasa. Ini nampak jelas dengan terjadinya konflik
kemanusiaan, seperti di Maluku, Poso, NTT, dan yang terus bermunculan akibat
persengketaan lahan dan lain-lain seperti Mesuji. Berbagai fasilitas
dihancurkan termasuk rumah-rumah ibadah dalam jumlah yang sangat besar. Tak
pelak lagi, jumlah pengungsi semakin banyak dengan penanggulangan persoalan
yang tidak memadai. Banyak sekali orang kehilangan hak-hak mereka secara
transparan, dan tidak ada nilai-nilai kemanusiaan yang benar-benar dihargai
berasal dari Tuhan dari semua umat
beragama di Indonesia. Sebuah tragedi yang sangat menyedihkan.
Pancasila
sebagai satu-satunya azas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara semakin didesak
pengeimplementasiannya. Rancang bangun politik nasional perlu dibarui, agar
struktur dan sistem politik dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Penegakan
keadilan bukan sekadar wacana yang semakin lama semakin tidak terdengar dan
sentuhannya semakin memudar mengakibatkan bertumbuh suburnya pelanggaran HAM,
pemiskinan, pembodohan, kebrutalan yang merasuk di semua sisi kehidupan
masyarakat bangsa. Harapan akan tegaknya keadilan dan demokratisasi yang
sesungguhnya hendaknya terus bertumbuh dan berkembang dan menepis sikap apatis,
sebab bangsa ini terus berada dalam proses perkembangannya (atau kemajuannya?).
dengan begitu, memelihara kerukunan umat beragama harus didasarkan pada
penghargaan setinggi-tingginya terhadap kebebasan setiap orang untuk memeluk
agamanya masing-masing berdasarkan UUD’45. Maka secara otomatis sikap saling
menghormati berbagai perbedaan beragama
menjadi salah satu modal kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara secara
konsekuen dan konsisten.
Pengembangan
budaya yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia juga menjadi
tantangan yang serius dalam rangka kesatuan bangsa ini. Jika budaya yang
dibiarkan bertumbuh dan berkembang itu adalah budaya daerah atau budaya agama,
maka bangsa Indonesia akan kehilangan potensinya yang hebat untuk bertumbuh
menjadi bangsa yang besar.[10] Sekali
lagi motto: Bhineka Tunggal Ika hanya sekadar wacana apabila budaya itu sendiri
tidak bertumbuh di dalamnya.
Perkembangan
global juga menjadi ancaman kemanusiaan. Dengan pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi, manusia dalam keutuhannya sering diabaikan.
Kehadiran mur, sekrup atau baut, terkadang menjadi lebih berarti dari pada
seorang manusia yang hidup dalam “pertumbuhan ekonomi dan politik”. Manusia
ditarik ke arah modernitas sekaligus ke arah primordialisme sempit. Sebuah
paradoks yang perlu dicermati. Dalam realitas ini, maka perjuangan menjadi
bangsa yang maju tetap tetap pada jati diri yang Bhineka Tunggal Ika harus
terus dilakukan.
Pluralitas
agama juga menjadi tantangan yang besar. Ini terjadi apabila agama-agama tidak
secara kolektif menghadirkan keutuhan, pembebasan dan perdamaian bagi setiap
orang. Pluralitas agama dapat menimbulkan berbagai perbedaan, ketegangan,
konflik antar-kelompok dan antar-golongan yang membentuk pluralitas tersebut.
Sesungguhnya semua agama terpanggil untuk memberikan suatu pendasaran religius
dan moral umum dan saling melengkapi bagi perjuangan itu, dan menjadi
kekuatan-kekuatan bagi pertumbuhan dan persekutuan.[11] Setiap
agama menghendaki yang baik bagi penganutnya dalam keterikatan dengan yang
transendental.
II.3. Pluralisme Sebagai
Kepelbagaian.
Adalah
sebuah kenyataan yang tidak dapat disangkali bahwa kita sedang berada pada masa
globalisme dan pluralisme etnis dan agama. Di Indonesia hal ini justru nampak
jelas karena pluralisme itu tidak dibuat-buat melainkan merupakan sifat dan
watak bangsa Indonesia itu sendiri.[12] Namun
kondisi yang bercirikan kemajemukan/pluralitas itu menimbulkan kepelbagaian
pandangan hidup dan pandangan keagamaan yang oleh para pemeluknya
sungguh-sungguh dipertahankan. Asumsi bahwa setiap pandangan hidup keagamaan
sangat berkaitan dengan soal “kebenaran” akhir menyebabkan di dalam kemajemukan
berarti ada beragam pendapat yang masing-masing memiliki kebenarannya sendiri.
Jika demikian dapatkah masing-masing penganut hidup di dalam kebenaran pendapat
pandangannya sendiri tanpa melihatj bahwa ada kebenaran di atas totalitas semua
kebenaran.
Paradigma
eksklusifisme kekristenan bercirikan pokok, bahwa hanya Kristuslah yang
menyediakan jejak paling absah menuju keselamatan.[13]
Pemahaman yang menutup sikap menghargai nilai-nilai yang terkandung dalam
agama-agama lainnya, bahkan dianggap sebagai sikap yang arogan terhadap
agama-agama lain. Sikap demikian, justru membatasi kasih Allah yang tidak
terbatas itu dengan mengurung Allah di dalam nilai-nilai yang dibuat oleh
manusia sendiri.
Demikian
juga klaim kebenaran ilahi yang dianut oleh masing-masing agama justru dapat
meniupkan iklim destruktif. Masing-masing mengunggulkan agamanya sebagai yang
paling benar, suci dan agung. Padahal ada nilai-nilai transendental universal
yang terkandung pada eksistensi agama-agama tersebut.
Agama
Islam di Indonesia menganggap bahwa penyebaran agama Isalm di Indonesia pada
umumnya berlangsung secara damai (penetration
pasifique), bahkan ini terus dikembangkan sampai sekarang. Gambaran yang
mau menyebutkan bahwa Islam akomodatif dan inklusif.[14]
Kenyataannnya setelah berbenturan dengan kolonilaisme Belanda membuat
eksklusifisme muncul.
Jadi
perasaan keagamaan yang eksklusif seperti itu dapat menimpa agama manapun yang
tidak memiliki pengetahuan yang memadai dan penghayatan terhadap agamanya
sendiri. Keadaan ini dapat berkembang menjadi puritan dan fundamentalisme yang
menjelma menjadi kaum fundamentalis dengan fanatisme keagamaan yang relatif
sempit. Jika kelompok puritan melepaskan diri dari masyarakat maka mereka
menjadi bertambah eksklusif dan loyalitas terhadap bangsa dan negarapun semakin
pudar.
BAB III
MEWUJUDKAN KERUKUNAN
SEJATI
Bagaimana
mungkin kita beragama secara benar, jika dalam kenyataan kehidupan bersama kita
diwarnai dengan perasaan saling membenci, saling curiga, terpecah belah dan
saling bermusuhan? Bagaimana mungkin umat beragama mampu mewujudkan kehidupan
yang sejahtera, jika kehidupan bersama diwarnai dengan kekacauan? Dlam hal inilah
umat beragama terbeban untuk merintis dan memperjuangkan kedamaian antara satu
sama lain, cinta kasih antara satu sama lain dan sadar akan tanggung jawab
bersama dalam soal kemanusiaan.
Berdasarkan
ungkapan di atas, ada beberapa point dalam Bab ini yang perlu dijelaskan:
III.1. Sumbangan Teologi Kristen.
Teologi
Kristen tentang agama-agama didasarkan pada penjelasan dari iman kristen
sebagai rekonstruksi rasional tas pandangan mengenai realitas yang ditegaskan,
dipradugakan dan disiratkan dalam iman tersebut. Oleh karena itu, teologi
Kristen menyajikan suatu perspektif yang kahs dan tertentu dalam menafsirkan
realitas. Dalam penafsiran dirinya ini, iman Kristen sebagai hubungan
eksistensial didasari rasa percaya (trust)
yang mutlak dan tidak bersyarat kepada Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus, yang
dipahami sebagai hubungan yang didasarkan dalam penyataan diri Allah dalam diri
Yesus Kristus, yang dikukuhkan untuk orang percaya oleh Allah Roh Kudus. Oleh
karena itu, teologi Kristen yang menafsirkan dirinya sebagai penjelasan dari
iman dapat dipakai sebagai teologi penyataan yang melihat semua manusia, dapat
menyatakan dengan penuh keyakinan dan setia tentang Allah dan hubungan Allah
dengan realitas sehingga hubungan tersebut didasarkan pada penyataan diri Allah
yang memungkinkan terciptanya iman.[15]
Terkait
dengan haitu sebagai umat beragama yang saat ini dibebani dengan persoalan
politik yang mewarnai hubungan antar-agama di Indonesia menghasilkan kerukunan
yang semu (dipaksakan), melalui berbagai bentuk rekayasa. Sesungguhnya
kerukunan sejati muncul bukan karena diatur, tetapi terarah kepada kehidupan
masing-masing orang dengan imannya. Di sinilah diperlukan bidang teologi yang
lebih terbuka terhadap agama-agama lain. Terbuka berarti perlu adanya perumusan
ulang tentang misi dan ajaran Kristen yang memperhatikan masalah-masalah sosial
kemanusiaan lebih dari persaingan ke arah proselitisme.
III.2. Upaya Pemerintah.
Pada
dasarnya yang hendak dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memantapkan
kerukunan antar-umat beragama di Indonesia adalah sesuatu yang sangat baik,
naum siapakah itu yang dapat merealisasikannya?
Tri
kerukunan umat beragama belum dapat dikatakan menciptakan kerukunan dalam arti
yang sesungguhnya, tetapi hanya memberi kesahihan pada kekuasaan. Berbagai
peraturan perundang-undangan untuk mengatur kehidupan bersama antara agama
justru memicu terjadinya pengkotak-kotakan masyarakat menurut
agama/keyakinannya masing-masinf. Hal seperti ini lebih jauh telah mendorong
agama-agama untuk tampil secara munafik, tidak authentik dan tidak memiliki
otoritas. Berbagai keputusan bersama telah disepakati, namun masing-masing
tetap berjalan sendiri-sendiri dengan membangun prasangka-prasangka menurut
versinya.
Dengan
demikian tepatlah dikatakan, bahwa kerukunan/hubungan antara umat beragama
haruslah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Sebab kebangkitan
agama-agama dengan semarak ritualnya belum menjamin meningkatnya kualitas
manusia. Sebaliknya, konflik sosial justru makin meningkat intensitasnya. Masyarakat
menjadi semakin pragmatis, nilai-nilai etika dan moralitas semakin merosot. Di
sinilah persoalannya, mengapa agama-agama tidak berhasil memberi arti bagi
kemanusiaan dan kebersamaan? Berbagai upacara keagamaan dilakukan hanya secara
formal maupun sekaligus mereduksi hakikat agama itu sendiri. Ritualitas
keagamaan hanya digunakan untuk melegitimasi spiritualitas semua para pemimpin
agama.[16]
Mestinya
umat beragama dibiarkan tumbuh secara alami dalam proses kerukunan sejati
dengan saling menghargai. Kepada mereka disadarkan peranan agama sebagai
sesuatu kekuatan etis dan moral yang mampu membawa ke arah kehidupan bersama
sehingga umat Tuhan dalam suatu wilayah bersama dan berorientasi pada
kepentingan dan kesejahteraan bersama.
III.3. Dialog Sebagai Upaya
Mewujudkan Kerukunan.
Dialog
menjadi suatu kebutuhan dan keharusan dalam kehidupan kebersamaan dari segenap
warga dunia ini, disebabkan oleh pelbagai faktor yang apat ditemukan baik dalam
perkembangan dunia sendiri maupun dalam perkembangan dan perubahan-perubahan
yang terjadi di dalam pandangan agama-agama sendiri. Dewasa ini banyak sekali
terlihat tanda-tanda lahirnya kesadaran universal umat manusia yang tidak
begitu saja membiarkan adanya rintangan-rintangan dan konflik-konflik antara
kelompok-kelompok umat manusia; kesadaran ini timbul karena meningkatnya
kerinduan akan perdamaian dan saling mengerti yang menggejala di seluruh dunia.[17]
Kemajemukan
yang menjadi ciri bangsa Indonesia dapat menjadi potensi positif bagi
pembangunan, namun dapat pula merupakan ancaman yang dapat menggagalkan
pembangunan itu sendiri. Dengan demikian bila ada dialog dan kerjasama yang
baik, secara terbuka, jujur dan saling menghargai, amat penting maknanya. Hal
itu akan dapat terjadi bila agama-agama berhasil mengembalikan otoritasnya
sebagai agama, dan bukan menjadi bagian sub-ordinatif dari kekuasaan.
III.4. Pancasila sebagai Landasan
Persatuan Bangsa.
Terkait
dengan dialog, dalam kenyataan yang terjadi, kondisi sosial religius dan
kultural yang majemuk itulah Pancasila juga ditempatkan sebagai satu-satunya
asas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal itu merupakan rumusan
pembangunan, sebagai pengamalan Pancasila diharapkan dapat merangkul semua umat
beragama. Dengan demikian, partisipasi golongan keagamaan dalam masyarakat yang
demokratis ini terletak dalam kerangka falsafah dan ideologi Pancasila.
Sehingga dalam negara Pancasila dialog antar-agama merupakan kebutuhan yang
mendesak ditinjau dari sudut manapun. Seperti yang diungkapkan oleh almarhum
Pak Simatupang, betapa dialog sangat penting dalam rangka ko-eksistensi,
koperasi dan pro-eksistensi diantara semua agama yang ada dalam masyarakat
Indonesia yang pluralistik.[18]
Jadi
dapatlah dikatakan bahwa kandungan Pancasila itu sendiri mencerminkan corak
yang hakiki hidup bangsa Indonesia yang majemuk dalam hal budaya, sosial,
politik, agama serta kepercayaan itulah pula yang hendak diungkapkan. Dalam
membicarakan permasalahan agama dalam masyarakat bangsa yang pluralistik maka
jelaslah peranan agama begitu penting bagi kehidupan bangsa dan telah tertuang
pula dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula dalam UUD 1945 pasal 29
ayat 1 mengandung pengertian bahwa negara mengakui eksistensi agama-agama. Ini
juga bebarti negara mengakui realita kemajemukan agama yang ada.
Dalam
naungan sila pertama dari Pancasila jelas bahwa kedudukan agama itu tidak
memandang mayoritas/minoritas. Tidak ada yang diistimewakan atau merasa
istimewa (seharusnya demikian), meskipun dianut oleh sebagian besar masyarakat.
Selain itu tidak boleh ada agama yang dianak-tirikan atau merasa sebagai anak
tiri karena dianut oleh sebagian kecil masyarakat. Sebab semuanya adalah sama
dan sederajat di depan hukum. Masing-masing agama memiliki kedudukan dan posisi
yang sama dalam negara. Ini berarti tidak menerima pandangan bahwa atas
landasan Pancasila semua agama adalah sama, karena pada hakikatnya merekapun
menyembah Allah yang sama.
Negara
Pancasila bukan negara agama dan bukan juga negara sekular. Ini berarti negara
dan agama tidak terpisah tetapi saling membutuhkan. Pada satu pihak negara
berkewajiban melindungi danmendorong kehidupan keagamaan di Indonesia agar
tetap menjaga kerukunan dalam hidup bersama. Di pihak lain, agama berperan
dalam memberikan landasan etik, moral, spiritual dalam pembangunan negara dan
masyarakat Indonesia. Peran agama-agama dalam negara Pancasila adalah peran
kritis-profetis, berarti memiliki peranan sebagai nabi yang menyuarakan suara
ilahi, yang mengandung nasihat, anjuran, dorongan bahkan kritik dan kecaman
demi tegakknya keadilan dan kebenaran.[19] Tugas
ini sangat perlu disadari oleh pemuka agama di Indonesia. Sebab jika tugas ini
dilalaikan itu berarti melalaikan juga apa yang menjadi kewaiban mereka.
III.3.1. Forum Komunikasi
Antar-Etnis.
Fungsi
dari forum ini adalah ke luar dan ke dalam. Ke luar, berarti dalam forum ada
perwakilan-perwakilan masing-masing suku yang legitimated dari sukunya; harus
memperkuat suku-suku dan kebiasaan-kebiasaan kepada perwakilan suku-suku lain.
Sebaliknya ke dalam, perwakilan tersebut terus menyampaikan kritik atas
kebiasaan yang salah dari suku-suku yang lain dan warganya. Sekaligus
menanamkan kesadaran yang dikehendaki bersama kepada warga masing-masing agar
hidup berdampaingan dengan damai, saling pengertian dan penghargaan.
Forum ini juga proaktif, bila ada
isu-isu yang membahayakan, masing-masing harus memberikan ketenangan kepada
warganya dan membantu agar menemukan titik kesadaran bahwa begitu pentingnya
hidup saling mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri dan hidup saling
memaafkan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Pluralitas
yang menjadi realitas bangsa-bangsa di muka bumi ini, terlebih bangsa-bangsa di
Asia (dan pasti Indonesia) memiliki dua implikasi, pertama, pluralitas (budaya dan religiusitas) dapat memperkaya dan
saling menyempurnakan bagi kehidupan bersama. Kedua,pluralitas justru mempertajam perbedaan yang memicu
ketegangan bahkan konflik antar golongan atau agama.
Terhadap
realitas tersebut orang (individu), kelompok, golongan, yang ada di Indonesia
juga pemerintah tidak dapat bersikap acuh tak acuh. Sebab pluralisme menyangkut
kehidupan manusia itu sendiri. Manusia diciptakan beragam, tidak seorangpun
yang sama (identik) sekalipun mereka adalah kembar. Keberagaman ciptaan,
sesungguhnya menunjukkan dengan sangat jelas dan nyata kemahakuasaan Sang
Pencipta. Keberagaman juga menunjukkan hakikat Allah yang menyatakan diriNya
dalam sejarah dlam semua peristiwa dan bentuk. Dia akan menjadi utuh apabila
tidak dipertentangkan, tetapi dipersatukan.
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka mengakhiri tulisan ini ada beberapa saran yang
dikemukakan dalam kaitannya dengan kerukunan umat beragama di Indonesia, yaitu:
- Kemajemukan adalah anugerah Tuhan. Dia sendiri menyatakan diriNya dalam cara yang beragam. Dengan demikian pluralitas agama tidak boleh dijadikan sebagai sumber konflik, tetapi justru sebaliknya sebagai sumber pemersatu.
- Agama-agama memiliki tugas dan tanggung jawab khususnya yang berkaitan dengan kemanusiaan. Itu berarti mewujudkan perdamaian dan keadilan bagi segala makhluk; perjuangan ke arah pembebasan dan keutuhan. Demikian pula dalam perjalanan bangsa di era demokrasi, agama-agama terpanggil untuk memberikan pendasaran religius dan moral umum yang dapat menjadi sumber kekuatan demi persatuan bangsa.
- Upaya untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa haruslah didukung oleh semua pihak (bahkan mestinya menjadi perjuangan bersama). Wadah musyawarah atau yang lebih dikenal dengan “dialog antar-umat beragama” haruslah benar-benar menyentuh kesadaran hingga lapisan “akar rumput”. Dengan demikian dialog bukan sekadar wacana, atau hanya menjadi kegiatan para pemuka agama dan pemerintah, melainkan benar-benar dapat menumbuhkan wawasan kebangsaan dan nasionalisme. Sehingga kerukunan umat beragama bukan sesuatu yang dipaksakan tetapi yang diharapkan oleh semua pihak demi persatuan dan kesatuan.
- Gereja-gereja dalam lingkungan oikumene, mengkaji ulang paradigma misi masa lampau dalam rangka kehidupan bersama dalam satu bangsa, bersama-sama dengan agama-agama lainnya. Gereja harus memfokuskan perhatian pada soal-soal kemanusiaan, ekonomi, politik, dengan semangat persatuan dan spiritual bersama.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Adiprasetya,
Joas. “Mencari Dasar Bersama” Kritik
Global dalam Kajian Postmodernisme dan Pluralisme Agama, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2002.
Ali,
Muhammad. “Teologi Pluralis-Multikultural”, Menghargai
Kemajemukan Menjalin Kebersamaan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003
Adeney,Bernard
T. “Etika Sosial Lintas Budaya”, Yogyakarta: Kanisius, 2000
D’Costa,Cavin
(peny.), “Mempertimbangkan kembali Keunikan Agama Kristen”, Mitos Teologi Pluralistis Agama-agama,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002
Darmaputera
Eka (peny.), “Konteks Berteologi di Indonesia”, Buku Penghormatan untuk HUT ke-70 Prof.Dr.P.D.Latuihamallo,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
Hao,Yap
Kim. “Dialog heologi in a Pluralistic World”, Singapore: The Methodist Book
Room, 1990.
Panitia
Penerbit Buku Kenangan Prof.Dr.Olaf Schumann, Balitbang PGI. “Agama dalam
Dialog”, Pencerahan, Pendamaian dan Masa
Depan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003
Tanja,
Victor I, “Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia”, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1996.
Soetarman
SP.dkk (peny.), “Fundamentalisme, Agama-agama dan Tekhnologi”, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996.
Sairin,
Weinata (peny.). “Kerukunan Umat Beragama, Pilar Utama Kerukunan Berbangsa”, Butir-butir Pemikiran, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2002.
Subandrijo,
Bambang. “Agama dalam Praksis”, Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Yayasan Widya
Bhakti, tahun 2003.
Souisa,
Nancy N. (peny.). “Geliat Berpikir Mahasiswa Teologi dari Barat hingga Timur
Indonesia”, Kumpulan Karya Tulis Ilmiah
dan Esai hasil Lomba Karya Tulis dan Esai Mahasiswa Sekolah-sekolah Teologia
Anggota Persetia tahun 1999-2001, Jakarta: PERSETIA, 2002.
***Tulisan
ini dibuat Pdt.Lastri Likumahwa, sebagai salah satu tugas akhir untuk
menyelesaikan study Magister Teologi di SEAGST 2005.
[1]
D’Costa Cavin (Peny.) “Mempertimbangkan kembali keunikan Agama Kristen”, Mitos Teologi Pluralitas Agama-agama.Jakarta:
Gunung Mulia, 2002, hlm.226.
[2]
Pnitia Penerbitan Buku Kenangan Prof.DR. Olaf Schumann, Balitbang PGI. “Agama
dalam Dialog”, Pencerahan, Pendamaian dan
Masa Depan.Jakarta: Gunung Mulia, 2003, hlm.123.
[3]
Hadinoto, N.K.Atmadja. “Dialog dan Edukasi”. Keluarga Kristen dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: Gunung Mulia,
1999,hlm. 46.
[4]
Ibid. hlm.48
[5]
Sairin, Weinata,M.Th.”Kerukunan Umat Beragama”, Pilar Utama Kerukunan Berbangsa, Butir-butir Pemikiran, Jakarta:
Gunung Mulia 2002,hlm. 58.
[6]
Ibid,hlm.68.
[7]
Ibid.hlm.69.PNSPP= Pembangunan Nasional Sebagai Pengamalan Pancasila.
[8]
Tentang hal ini akan dijelaskan dalam bagian berikutnya, tentang pluralisme
sebagai kepelbagaian.
[9]
D’Costa, Cavin.(Peny.).Op.Cit.hlm.211-212.
[10]
Balitbang PGI,Ibid.hlm.176.
[11]
Souisa-Gaspersz Nancy N (Peny.).”Geliat Berpikir Mahasiswa Teologi dar Barat
hingga Timur Indonesia”,Kumpulan Karya
Tulis Ilmiah dan Esai-Hasil Lomba Karya Tulis dan Esai Mahasiswa
sekolah-sekolah Tinggi Anggota Persetia tahun 1999-2001, Jakarta:
Persetia,2002,hlm.108.
[12]
Tanja,Pdt Victor I, “Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia”,
Jakarta: Gunung Mulia, 1996, hlm.33
[13]
Adiprasetya, Joas.”Mencari dasar Bersama”, Etik
Global dalam Kajian Postmodernisme dan Pluralisme Agama, Jakarta: Gunung
Mulia, 2002, hlm.50.
[14]
Sairin,Weinata,Op.Cit.hlm.99.
[15]
D’Costa,Cavin., Op.Cit.,hlm.75.
[16]
Subandrijo,Bambang. “Agama dalam Praksis”. Jakarta: Gununbg Mulia dan Yayasan
Widhya Bakti (YWB), 2003.,hlm.12.
[17]
Soetarman,S.P.dkk.(peny.), “Fundamentalisme Agama-agama dan Tekhnologi”,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996,hlm.68.
[18]
Tanja Victor I.Op.Cit.hlm.110.
[19]
Balitbang PGI.Op.Cit.hlm.350-351.