Senin, 25 Februari 2013

pluralisme


PLURALISME
PLURALISME SEBAGAI KEPELBAGAIAN DAN PLURALISME SEBAGAI KETERHUBUNGAN

BAB I
PENDAHULUAN
                Dunia sekarang ini bercirikan kemajemukan/pluralitas. Kebnayakan orang yang tinggal di daerah perkotaan saling bersentuhan dengan orang-orang yang berbeda ras, suku, kebudayaan dan agama. Keadaan yang muncul akibat urbanisasi yang melonjak,begitu banyak orang mengharapkan dapat merubah nasib dengan berkecimpung di kota-kota dengan meninggalkan pedesaan dan tanah pertanian mereka. Arus perpindahan penduduk yang lebih luas lagi adalah lajunya imigrasi dari negara satu ke negara yang lainnya.
Bangkitnya ilmu pengetahuan sejak abad ke-17 dan perkembangan intelektual serta politik pada abad ke-18 telah menjadi salah satu faktor perubahan tersebut. Keadaan mana berbeda dengan situasi bangsa-bangsa Eropa yang berabad-abad hidup dalam struktur yang mungkin cukup koheren.[1]
Kemajemukan yang ada di negara-negara Asia (termasuk Indonesia) menjadi sesuatu yang menarik untuk diperhatikan. Indonesia merupakan negara kepulauan yang jumlah penduduknya sangat banyak (sekitar 17.000 pulau). Akibatnya peluang sangat besar untukkeberagaman adat dan bahasa karena keterpisahan satu dari yang lain. Di samping itu berkembang juga agama-agama yang beraneka ragam, seperti agama Hindu, Budha, Isalm, Kristen Protestan dan Kristen Katolik serta Kon Hu Cu, yang dianut oleh penduduk Indonesia. Ditambah lagi dengan adanya kepercayaan masyarakat asli yang beragam di daerah-daerah. Keanekaragaman lainnya yang dapat disebutkan di sini juga, yaitu keadaan sosial masyarakat Indonesia; ada kelompok yang sudah maju, ada yang belum bahkan banyak sekali yang ketinggalan; ada yang sudah mapan dari segi ekonomi (bahkan berkelebihan) namun banyak sekali yang miskin. Ini juga menunjukkan salah satu dari kemajemukan yang ada di Indonesia (multi kompleks).
Pancasila sebagai ideologi Negara yang bersifat terbuka dan inklusif semestinya memberi kemungkinan bagi masyarakat yang majemuk ini untuk tetap bersatu padu sebagai satu bangsa. Pancasila juga perlu ditekankan sebagai azas yang memiliki tenaga integratif yang memperkukuh kesatuan. Dengan demikian semboyan Bhineka Tunggal Ika yang mensyaratkan kesatuan di tengah keragaman menjadi sesuatu yang riil dan harus terus dirawat, sebab kerukunan dalam kemajemukan bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya ada (terjadi).
Mengamati kemajemukan agama yang ada di Indonesia kita mesti melihat dari dua sisi, yakni dapat menjadi sumber pemersatu, tetapi dapat juga menjadi sumber pemecah. Pluralitas agama ini dapat memberi bermacam warna yang memperkaya kehidupan bersama. Sebaliknya, dapat juga menimbulkan berbagai perbedaan, ketegangan dan konflik antar kelompok dan golongan. Pertanyaan yang muncul adalah “apakah agama sebagai sumber konflik?”, “dimakanakah nilai-nilai luhur agama itu?”, “tidakkah semua agama bermuara pada sesuatu yang baik dan kebahagiaan bagi para penganutnya?” pertanyaan-pertanyaan ini sepatutnya menimbulkkan sikap kritis terhadap segala bentuk konflik yang telah terjadi di negara Indonesia ini, agar agama tidak selalu dijadikan “kambing hitam” atas rekayasa politik individu atau kelompok tertentu yang ingin menghancurkan keutuhan bangsa dan negara ini.
Berkaitan dengan ini maka setiap pemeluk agama harus mempunyai sifat terbuka terhadap perspektif lain dari yang sudah melekat dalam diri sendiri. Dengan demikian tembok-tembok pemisah tidak lagi dibiarkan berdiri dan ditemukannya pemahaman mengenai yang lain sekaligus mencari jalan keluar pemecahan masalah yang dapat diterima bersama. Di situlah akan menjadi syarat keberhasilan kemantapan kerukunan nasional.

BAB II
PLURALISME AGAMA DI INDONESIA
II.1. pluralitas dan Pluralisme.
                Pluralitas dan pluralisme berasal ari kata dasar yang sama, yaitu plural yang berarti jamak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah pluralitas tidak ada, yang ada hanya pluralisme yang dijelaskan sebagai “hal yang mengatakan jamak atau tidak satu.”[2]
                Sebagaimana yang telah disinggung dalam Bab Pendahuluan, bahwa kondisi obyektif Indonesia bukan hanya sebuah negara dengan ribuan pulau, gunung, aneka suku serta tradisi kultural yang dimilikinya, tetapi juga sebuah negara dimana di dalamnya hadir dan hidup berbagai agama, baik keenam agama resmi yang diakui oleh negara maupun aliran berbagai kepercayaan yang ada di daerah-daerah. Dengan kata lain, Indonesia merupakan masyarakat majemuk (plural) juga dalam hal keagamaan. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa pluralitas berarti kemajemukan yang lebih mengacu kepada jumlah yang jamak dan pada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Namun pluralisme agama lebih mengarah kepada kemajemukan paham tentang agama, dimana implikasi dari kemajemukan itu merupakan sesuatu yang signifikan. Oleh sebab itu pemahaman bahwa sesungguhnya agama itu berawal dari kesadaran manusia tentang relasinya dengan suatu kuasa yang transendental yang dialaminya secara eksistensial, baik itu melalui gejala alam maupun melalui daya pikir manusia. Pemahaman ini akan menuntun pada kesimpulan bahwa kuasa yang transenden, yang absolut itu, menyatakan dirinya melalui berbagai cara kepada yang imanen dalam keanekaragamannya. Agama bermula secara manusiawi, yakni pengalaman manusia yang paling mendasar dan bukan menunjuk pada suatu konsep teori atau lembaga agama. Cara merespons yang absolut itu ditambah dengan kepercayaan dan kepasrahan diri, yang menimbulkan bermacam sistematisasi nilai-nilai yang disebut agama.
II.2. Pluralisme sebagai keterhubungan.
                Sebagai masyarakat yang berazaskan Pancasila, kemajemukan agama menjadi kebanggan kita. Ada makna tersendiri yang terkandung di dalamnya karena itu diperkaya dengan aliran-aliran agama dan pengetahuan tentangnya. Oleh karena itu kemajemukan agama yang ada di Indonesia sangat diharapkan menjadi realitas yang berperan dalam meningkatkan moral bangsa. Agama-agama yang ada itu juga diharapkan dapat memberikan sumbangan positif dalam menumbuhkan motivasi, memberi inspirasi dan stimulasi demi pembangunan bangsa dan negara. Dengan cara itulah agama-agama menjalankan fungsi sosialnya.[3]
                Lebih rinci lagi dijelaskan oleh Hadinoto tentang garis besar fungsi agama, anatar lain:
  1. Fungsi integritas. Kata agama berasal dari kata religi dengan akar kata religere yang berarti yang mengikat. Oleh karena itu agama adalah pengikat, pemersatu para penganutnya  dalam perasaan, loyalitas terhadap ajaran nabi, ucapan ritual dan lain-lain.
  2. Fungsi pemberi arah dan tujuan pada kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah memerlukan suatu tujuan yang bermakna bagi dirinya maupun bagi kelompok. Agama menunjukkan arah yang bermakna dan transendental.
  3. Fungsi moral. Dapat menumbuhkan motivasi, mendorong manusia sebagai mahkluk bermoral hidup, berpikir dan bertindak.
  4. Fungsi sebagai pemberi jawab terhadap pertanyaan-pertanyaan akhir.[4]
Ada pendapat mengatakan bahwa ada nilai-nilai yang dimiliki bersama dan nilai-nilai itulah yang bisa mempertemukan agama-agama untuk mengembangkan kehidupan bersama. Beberapa nilai itu, seperti nilai keadilan, kemanusiaan, kebenaran dan lain-lain yang memang bisa saja dimiliki bersama dan sampai pada tingkat tertentu bisa diperjuangkan bersama. Namun hal ini akan berujung pada sebuah pertanyaan yang mempertanyakan kriteria apa yang digunakan untuk mengukur sebuah keadilan, kebenaran atau nilai-nilai kemanusiaan. Bila kriteria itu berasal ari yang absolut itu berarti tergantung pada keyakinan masing-masing.
Berkaitan dengan kerukunan hidup beragama dalam menunjang integritas bangsa, maka akan dikemukakan beberapa peluang yang mungkin ada, yaitu:
  1. Pada prinsipnya semua agama bertujuan untuk menyejahterakan para pemeluknya, menolong orang miskin dan teraniaya. Persamaan pandangan tersebut memungkinkan berbagai agama untuk bekerjasama melakukan kegiatan penanggulangan kemiskinan.
  2. Agama-agama di Indonesia bersedia mengembangkan wawasan yang inklusif.
  3. Hubungan kekerabatan di Indonesia dapat meredam pertentangan antar-umat beragama.
  4. Dalam masyarakat secara tradisional ada kebiasaan (adat) yang sudah melembaga untuk memelihara ketertiban masyarakat, seperti adat pela di Maluku,Mapalus di Minahasa, Rumah Betang di kalangan suku Dayak di Kalimantan Tengah.
  5. Berbagai upaya pemerintah dalam upaya mendekatkan perbedaan dalam masyarakat yang mendapat dukungan dari semua pemuka agama dan warga masyarakat penganut agama itu sendiri.
  6. Adanya dampak positif dari globalisasi yakni di bidang informasi dan ekonomi, wawasan keberagamaan masyarakat mestinya semakin meningkat seiring kemudahan emmperoleh pengetahuan agama dari berbagai media komunikasi.[5]
Penjelasan tadi menunjukkan bahwa di tengah-tengah arus modernisasi yang berakibat memudarnya nilai-nilai moral, etik dan spiritual, justru kebangkitan agama-agama di Indonesia mendapatkan tempat yang subur dan ditunjang oleh pemerintah secara positif dan konstruktif. Di sinilah agama-agama dapat mewujudkan tanggung jawab etis moralnya untuk memberi motivasi dan inspirasi bagi Pembangunan Nasional sebagai pengamalan Pancasila.[6]
Upaya-upa tersebut akan benar-benar menjadi bermakna apabila tidak sekadar berupa rumussan-rumusan baku, tekstual dan formal tanpa terwujud dalam sikap keteladanan. Lebih lagi misi kemanusiaan dan nilai-nilai moral itu tidak berhenti di tapal batas bangsa atau negara melainkan bersifat universal. Menjangkau semua orang dalam segala lapisan dan di seluruh dunia. Ajaran semua agama sama, dalam hal sebagai pelopor hal-hal baik yang dimulai dari skala terkecil yakni diri sendiri.
PGI sebagai institusi formal di tengah-tengah bangsa dan negara Indonesia ini bersama Gereja-gereja anggota berjuang dan secara terus menerus berpartisipasi secara positif, kreatif, kritis dan realistis di tengah era reformasi sebagai pengamalan Pancasila. Hal ini tercermin dalam Tema dan Subn Tema SR XI PGI 1986 di Surabaya, ayitu “Bersama-sama menanggulangi kemiskinan dalam rangka PNSPP menuju tinggal landas”.[7]
Yang menjadi perhatian penting juga dalam hal ini adalah di dalam agama manusia menjalin relasi dengan Allah dan sesama. Namun demikian agama tidak boleh didewakan dengan membelenggu Allah dalam tatanan struktur ajaran dan nilai agama, sehingga agama jauh lebih besar dari manusia bahkan Allah. Bersama dengan itu maka prapaham yang dianggap tidak lagi cocok dengan konteks Indonesia yang memiliki banyak perbedaan, semestinya ditransformasi (misalnya prapaham fundamentalis).[8] Karena dibalik kepelbagaian yang sesungguhnya dalam ajaran-ajaran agama mengenai tujuan dan pola kehidupan, tersembunyi suatu struktur soteriologis. Sebagaimana pandangan John Hick, komunitas-komunitas keagamaan di dunia dapat dipandang seolah-olah, sebagai komunitas yang soteriosentris secara pluralistis dalam doktrin tentang apa yang sesungguhnya menjadi tujuan hidup sejati.[9]
II.2.1. Berbagai  pergumulan dan tantangan menuju kerukunan.
                Hidup dalam kedamaian selalu menjadi harapan setiap orang. Kedamaian lahir dan batin yang memungkinkan manusia untuk bebas menjalankan kehidupannya dengan tidak mengganggu atau diganggu oleh orang lain. Banyak orang menggantungkan harapan itu kepada penguasa (negara-pemerintah) dan aparat penegak hukumnya serta kepada Tuhan berdasarkan keyakinan yang dianutnya. Jika demikian apakah agama itu sendiri merupakan faktor pendukung perdamaian? Pada dasarnya, setiap agama mengajarkan kerukunan, tanpa perang, apalagi ketika penyebaran agama itu dilakukan. Namun mengapa pertentangan justru semakin menjadi panas dalam nuansa keagamaan, ketimbang latar belakang yang lainnya? Mungkin saja diakibatkan setiap orang tidak memegang kemurnian agamanya masing-masing.
                Kenyataan seperti inilah yang terus menerus menjadi pergumulan Gereja-gereja di Indonesia. Seolah-olah ikatan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia mengalami goncangan yang luar biasa. Ini nampak jelas dengan terjadinya konflik kemanusiaan, seperti di Maluku, Poso, NTT, dan yang terus bermunculan akibat persengketaan lahan dan lain-lain seperti Mesuji. Berbagai fasilitas dihancurkan termasuk rumah-rumah ibadah dalam jumlah yang sangat besar. Tak pelak lagi, jumlah pengungsi semakin banyak dengan penanggulangan persoalan yang tidak memadai. Banyak sekali orang kehilangan hak-hak mereka secara transparan, dan tidak ada nilai-nilai kemanusiaan yang benar-benar dihargai berasal dari Tuhan  dari semua umat beragama di Indonesia. Sebuah tragedi yang sangat menyedihkan.
                Pancasila sebagai satu-satunya azas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa  dan bernegara semakin didesak pengeimplementasiannya. Rancang bangun politik nasional perlu dibarui, agar struktur dan sistem politik dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Penegakan keadilan bukan sekadar wacana yang semakin lama semakin tidak terdengar dan sentuhannya semakin memudar mengakibatkan bertumbuh suburnya pelanggaran HAM, pemiskinan, pembodohan, kebrutalan yang merasuk di semua sisi kehidupan masyarakat bangsa. Harapan akan tegaknya keadilan dan demokratisasi yang sesungguhnya hendaknya terus bertumbuh dan berkembang dan menepis sikap apatis, sebab bangsa ini terus berada dalam proses perkembangannya (atau kemajuannya?). dengan begitu, memelihara kerukunan umat beragama harus didasarkan pada penghargaan setinggi-tingginya terhadap kebebasan setiap orang untuk memeluk agamanya masing-masing berdasarkan UUD’45. Maka secara otomatis sikap saling menghormati  berbagai perbedaan beragama menjadi salah satu modal kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara secara konsekuen dan konsisten.
                Pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia juga menjadi tantangan yang serius dalam rangka kesatuan bangsa ini. Jika budaya yang dibiarkan bertumbuh dan berkembang itu adalah budaya daerah atau budaya agama, maka bangsa Indonesia akan kehilangan potensinya yang hebat untuk bertumbuh menjadi bangsa yang besar.[10] Sekali lagi motto: Bhineka Tunggal Ika hanya sekadar wacana apabila budaya itu sendiri tidak bertumbuh di dalamnya.
                Perkembangan global juga menjadi ancaman kemanusiaan. Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, manusia dalam keutuhannya sering diabaikan. Kehadiran mur, sekrup atau baut, terkadang menjadi lebih berarti dari pada seorang manusia yang hidup dalam “pertumbuhan ekonomi dan politik”. Manusia ditarik ke arah modernitas sekaligus ke arah primordialisme sempit. Sebuah paradoks yang perlu dicermati. Dalam realitas ini, maka perjuangan menjadi bangsa yang maju tetap tetap pada jati diri yang Bhineka Tunggal Ika harus terus dilakukan.
                Pluralitas agama juga menjadi tantangan yang besar. Ini terjadi apabila agama-agama tidak secara kolektif menghadirkan keutuhan, pembebasan dan perdamaian bagi setiap orang. Pluralitas agama dapat menimbulkan berbagai perbedaan, ketegangan, konflik antar-kelompok dan antar-golongan yang membentuk pluralitas tersebut. Sesungguhnya semua agama terpanggil untuk memberikan suatu pendasaran religius dan moral umum dan saling melengkapi bagi perjuangan itu, dan menjadi kekuatan-kekuatan bagi pertumbuhan dan persekutuan.[11] Setiap agama menghendaki yang baik bagi penganutnya dalam keterikatan dengan yang transendental.
II.3. Pluralisme Sebagai Kepelbagaian.
                Adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat disangkali bahwa kita sedang berada pada masa globalisme dan pluralisme etnis dan agama. Di Indonesia hal ini justru nampak jelas karena pluralisme itu tidak dibuat-buat melainkan merupakan sifat dan watak bangsa Indonesia itu sendiri.[12] Namun kondisi yang bercirikan kemajemukan/pluralitas itu menimbulkan kepelbagaian pandangan hidup dan pandangan keagamaan yang oleh para pemeluknya sungguh-sungguh dipertahankan. Asumsi bahwa setiap pandangan hidup keagamaan sangat berkaitan dengan soal “kebenaran” akhir menyebabkan di dalam kemajemukan berarti ada beragam pendapat yang masing-masing memiliki kebenarannya sendiri. Jika demikian dapatkah masing-masing penganut hidup di dalam kebenaran pendapat pandangannya sendiri tanpa melihatj bahwa ada kebenaran di atas totalitas semua kebenaran.
                Paradigma eksklusifisme kekristenan bercirikan pokok, bahwa hanya Kristuslah yang menyediakan jejak paling absah menuju keselamatan.[13] Pemahaman yang menutup sikap menghargai nilai-nilai yang terkandung dalam agama-agama lainnya, bahkan dianggap sebagai sikap yang arogan terhadap agama-agama lain. Sikap demikian, justru membatasi kasih Allah yang tidak terbatas itu dengan mengurung Allah di dalam nilai-nilai yang dibuat oleh manusia sendiri.
                Demikian juga klaim kebenaran ilahi yang dianut oleh masing-masing agama justru dapat meniupkan iklim destruktif. Masing-masing mengunggulkan agamanya sebagai yang paling benar, suci dan agung. Padahal ada nilai-nilai transendental universal yang terkandung pada eksistensi agama-agama tersebut.
                Agama Islam di Indonesia menganggap bahwa penyebaran agama Isalm di Indonesia pada umumnya berlangsung secara damai (penetration pasifique), bahkan ini terus dikembangkan sampai sekarang. Gambaran yang mau menyebutkan bahwa Islam akomodatif dan inklusif.[14] Kenyataannnya setelah berbenturan dengan kolonilaisme Belanda membuat eksklusifisme muncul.
                Jadi perasaan keagamaan yang eksklusif seperti itu dapat menimpa agama manapun yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai dan penghayatan terhadap agamanya sendiri. Keadaan ini dapat berkembang menjadi puritan dan fundamentalisme yang menjelma menjadi kaum fundamentalis dengan fanatisme keagamaan yang relatif sempit. Jika kelompok puritan melepaskan diri dari masyarakat maka mereka menjadi bertambah eksklusif dan loyalitas terhadap bangsa dan negarapun semakin pudar.
BAB III
MEWUJUDKAN KERUKUNAN SEJATI
                Bagaimana mungkin kita beragama secara benar, jika dalam kenyataan kehidupan bersama kita diwarnai dengan perasaan saling membenci, saling curiga, terpecah belah dan saling bermusuhan? Bagaimana mungkin umat beragama mampu mewujudkan kehidupan yang sejahtera, jika kehidupan bersama diwarnai dengan kekacauan? Dlam hal inilah umat beragama terbeban untuk merintis dan memperjuangkan kedamaian antara satu sama lain, cinta kasih antara satu sama lain dan sadar akan tanggung jawab bersama dalam soal kemanusiaan.
                Berdasarkan ungkapan di atas, ada beberapa point dalam Bab ini yang perlu dijelaskan:
III.1. Sumbangan Teologi Kristen.
                Teologi Kristen tentang agama-agama didasarkan pada penjelasan dari iman kristen sebagai rekonstruksi rasional tas pandangan mengenai realitas yang ditegaskan, dipradugakan dan disiratkan dalam iman tersebut. Oleh karena itu, teologi Kristen menyajikan suatu perspektif yang kahs dan tertentu dalam menafsirkan realitas. Dalam penafsiran dirinya ini, iman Kristen sebagai hubungan eksistensial didasari rasa percaya (trust) yang mutlak dan tidak bersyarat kepada Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus, yang dipahami sebagai hubungan yang didasarkan dalam penyataan diri Allah dalam diri Yesus Kristus, yang dikukuhkan untuk orang percaya oleh Allah Roh Kudus. Oleh karena itu, teologi Kristen yang menafsirkan dirinya sebagai penjelasan dari iman dapat dipakai sebagai teologi penyataan yang melihat semua manusia, dapat menyatakan dengan penuh keyakinan dan setia tentang Allah dan hubungan Allah dengan realitas sehingga hubungan tersebut didasarkan pada penyataan diri Allah yang memungkinkan terciptanya iman.[15]
                Terkait dengan haitu sebagai umat beragama yang saat ini dibebani dengan persoalan politik yang mewarnai hubungan antar-agama di Indonesia menghasilkan kerukunan yang semu (dipaksakan), melalui berbagai bentuk rekayasa. Sesungguhnya kerukunan sejati muncul bukan karena diatur, tetapi terarah kepada kehidupan masing-masing orang dengan imannya. Di sinilah diperlukan bidang teologi yang lebih terbuka terhadap agama-agama lain. Terbuka berarti perlu adanya perumusan ulang tentang misi dan ajaran Kristen yang memperhatikan masalah-masalah sosial kemanusiaan lebih dari persaingan ke arah proselitisme.
III.2. Upaya Pemerintah.
                Pada dasarnya yang hendak dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memantapkan kerukunan antar-umat beragama di Indonesia adalah sesuatu yang sangat baik, naum siapakah itu yang dapat merealisasikannya?
                Tri kerukunan umat beragama belum dapat dikatakan menciptakan kerukunan dalam arti yang sesungguhnya, tetapi hanya memberi kesahihan pada kekuasaan. Berbagai peraturan perundang-undangan untuk mengatur kehidupan bersama antara agama justru memicu terjadinya pengkotak-kotakan masyarakat menurut agama/keyakinannya masing-masinf. Hal seperti ini lebih jauh telah mendorong agama-agama untuk tampil secara munafik, tidak authentik dan tidak memiliki otoritas. Berbagai keputusan bersama telah disepakati, namun masing-masing tetap berjalan sendiri-sendiri dengan membangun prasangka-prasangka menurut versinya.
                Dengan demikian tepatlah dikatakan, bahwa kerukunan/hubungan antara umat beragama haruslah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Sebab kebangkitan agama-agama dengan semarak ritualnya belum menjamin meningkatnya kualitas manusia. Sebaliknya, konflik sosial justru makin meningkat intensitasnya. Masyarakat menjadi semakin pragmatis, nilai-nilai etika dan moralitas semakin merosot. Di sinilah persoalannya, mengapa agama-agama tidak berhasil memberi arti bagi kemanusiaan dan kebersamaan? Berbagai upacara keagamaan dilakukan hanya secara formal maupun sekaligus mereduksi hakikat agama itu sendiri. Ritualitas keagamaan hanya digunakan untuk melegitimasi spiritualitas semua para pemimpin agama.[16]
                Mestinya umat beragama dibiarkan tumbuh secara alami dalam proses kerukunan sejati dengan saling menghargai. Kepada mereka disadarkan peranan agama sebagai sesuatu kekuatan etis dan moral yang mampu membawa ke arah kehidupan bersama sehingga umat Tuhan dalam suatu wilayah bersama dan berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan bersama.
III.3. Dialog Sebagai Upaya Mewujudkan Kerukunan.
                Dialog menjadi suatu kebutuhan dan keharusan dalam kehidupan kebersamaan dari segenap warga dunia ini, disebabkan oleh pelbagai faktor yang apat ditemukan baik dalam perkembangan dunia sendiri maupun dalam perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam pandangan agama-agama sendiri. Dewasa ini banyak sekali terlihat tanda-tanda lahirnya kesadaran universal umat manusia yang tidak begitu saja membiarkan adanya rintangan-rintangan dan konflik-konflik antara kelompok-kelompok umat manusia; kesadaran ini timbul karena meningkatnya kerinduan akan perdamaian dan saling mengerti yang menggejala di seluruh dunia.[17]
                Kemajemukan yang menjadi ciri bangsa Indonesia dapat menjadi potensi positif bagi pembangunan, namun dapat pula merupakan ancaman yang dapat menggagalkan pembangunan itu sendiri. Dengan demikian bila ada dialog dan kerjasama yang baik, secara terbuka, jujur dan saling menghargai, amat penting maknanya. Hal itu akan dapat terjadi bila agama-agama berhasil mengembalikan otoritasnya sebagai agama, dan bukan menjadi bagian sub-ordinatif dari kekuasaan.
III.4. Pancasila sebagai Landasan Persatuan Bangsa.
                Terkait dengan dialog, dalam kenyataan yang terjadi, kondisi sosial religius dan kultural yang majemuk itulah Pancasila juga ditempatkan sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal itu merupakan rumusan pembangunan, sebagai pengamalan Pancasila diharapkan dapat merangkul semua umat beragama. Dengan demikian, partisipasi golongan keagamaan dalam masyarakat yang demokratis ini terletak dalam kerangka falsafah dan ideologi Pancasila. Sehingga dalam negara Pancasila dialog antar-agama merupakan kebutuhan yang mendesak ditinjau dari sudut manapun. Seperti yang diungkapkan oleh almarhum Pak Simatupang, betapa dialog sangat penting dalam rangka ko-eksistensi, koperasi dan pro-eksistensi diantara semua agama yang ada dalam masyarakat Indonesia yang pluralistik.[18]
                Jadi dapatlah dikatakan bahwa kandungan Pancasila itu sendiri mencerminkan corak yang hakiki hidup bangsa Indonesia yang majemuk dalam hal budaya, sosial, politik, agama serta kepercayaan itulah pula yang hendak diungkapkan. Dalam membicarakan permasalahan agama dalam masyarakat bangsa yang pluralistik maka jelaslah peranan agama begitu penting bagi kehidupan bangsa dan telah tertuang pula dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 mengandung pengertian bahwa negara mengakui eksistensi agama-agama. Ini juga bebarti negara mengakui realita kemajemukan agama yang ada.
                Dalam naungan sila pertama dari Pancasila jelas bahwa kedudukan agama itu tidak memandang mayoritas/minoritas. Tidak ada yang diistimewakan atau merasa istimewa (seharusnya demikian), meskipun dianut oleh sebagian besar masyarakat. Selain itu tidak boleh ada agama yang dianak-tirikan atau merasa sebagai anak tiri karena dianut oleh sebagian kecil masyarakat. Sebab semuanya adalah sama dan sederajat di depan hukum. Masing-masing agama memiliki kedudukan dan posisi yang sama dalam negara. Ini berarti tidak menerima pandangan bahwa atas landasan Pancasila semua agama adalah sama, karena pada hakikatnya merekapun menyembah Allah yang sama.
                Negara Pancasila bukan negara agama dan bukan juga negara sekular. Ini berarti negara dan agama tidak terpisah tetapi saling membutuhkan. Pada satu pihak negara berkewajiban melindungi danmendorong kehidupan keagamaan di Indonesia agar tetap menjaga kerukunan dalam hidup bersama. Di pihak lain, agama berperan dalam memberikan landasan etik, moral, spiritual dalam pembangunan negara dan masyarakat Indonesia. Peran agama-agama dalam negara Pancasila adalah peran kritis-profetis, berarti memiliki peranan sebagai nabi yang menyuarakan suara ilahi, yang mengandung nasihat, anjuran, dorongan bahkan kritik dan kecaman demi tegakknya keadilan dan kebenaran.[19] Tugas ini sangat perlu disadari oleh pemuka agama di Indonesia. Sebab jika tugas ini dilalaikan itu berarti melalaikan juga apa yang menjadi kewaiban mereka.

III.3.1. Forum Komunikasi Antar-Etnis.
                Fungsi dari forum ini adalah ke luar dan ke dalam. Ke luar, berarti dalam forum ada perwakilan-perwakilan masing-masing suku yang legitimated dari sukunya; harus memperkuat suku-suku dan kebiasaan-kebiasaan kepada perwakilan suku-suku lain. Sebaliknya ke dalam, perwakilan tersebut terus menyampaikan kritik atas kebiasaan yang salah dari suku-suku yang lain dan warganya. Sekaligus menanamkan kesadaran yang dikehendaki bersama kepada warga masing-masing agar hidup berdampaingan dengan damai, saling pengertian dan penghargaan.
Forum ini juga proaktif, bila ada isu-isu yang membahayakan, masing-masing harus memberikan ketenangan kepada warganya dan membantu agar menemukan titik kesadaran bahwa begitu pentingnya hidup saling mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri dan hidup saling memaafkan.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
                Pluralitas yang menjadi realitas bangsa-bangsa di muka bumi ini, terlebih bangsa-bangsa di Asia (dan pasti Indonesia) memiliki dua implikasi, pertama, pluralitas (budaya dan religiusitas) dapat memperkaya dan saling menyempurnakan bagi kehidupan bersama. Kedua,pluralitas justru mempertajam perbedaan yang memicu ketegangan bahkan konflik antar golongan atau agama.
                Terhadap realitas tersebut orang (individu), kelompok, golongan, yang ada di Indonesia juga pemerintah tidak dapat bersikap acuh tak acuh. Sebab pluralisme menyangkut kehidupan manusia itu sendiri. Manusia diciptakan beragam, tidak seorangpun yang sama (identik) sekalipun mereka adalah kembar. Keberagaman ciptaan, sesungguhnya menunjukkan dengan sangat jelas dan nyata kemahakuasaan Sang Pencipta. Keberagaman juga menunjukkan hakikat Allah yang menyatakan diriNya dalam sejarah dlam semua peristiwa dan bentuk. Dia akan menjadi utuh apabila tidak dipertentangkan, tetapi dipersatukan.
                Berdasarkan penjelasan di atas, maka mengakhiri tulisan ini ada beberapa saran yang dikemukakan dalam kaitannya dengan kerukunan umat beragama di Indonesia, yaitu:
  1. Kemajemukan adalah anugerah Tuhan. Dia sendiri menyatakan diriNya dalam cara yang beragam. Dengan demikian pluralitas agama tidak boleh dijadikan sebagai sumber konflik, tetapi justru sebaliknya sebagai sumber pemersatu.
  2. Agama-agama memiliki tugas dan tanggung jawab khususnya yang berkaitan dengan kemanusiaan. Itu berarti mewujudkan perdamaian dan keadilan bagi segala makhluk; perjuangan ke arah pembebasan dan keutuhan. Demikian pula dalam perjalanan bangsa di era demokrasi, agama-agama terpanggil untuk memberikan pendasaran religius dan moral umum yang dapat menjadi sumber kekuatan demi persatuan bangsa.
  3. Upaya untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa haruslah didukung oleh semua pihak (bahkan mestinya menjadi perjuangan bersama). Wadah musyawarah atau yang lebih dikenal dengan “dialog antar-umat beragama” haruslah benar-benar menyentuh kesadaran hingga lapisan “akar rumput”. Dengan demikian dialog bukan sekadar wacana, atau hanya menjadi kegiatan para pemuka agama dan pemerintah, melainkan benar-benar dapat menumbuhkan wawasan kebangsaan dan nasionalisme. Sehingga kerukunan umat beragama bukan sesuatu yang dipaksakan tetapi yang diharapkan oleh semua pihak demi persatuan dan kesatuan.
  4. Gereja-gereja dalam lingkungan oikumene, mengkaji ulang paradigma misi masa lampau dalam rangka kehidupan bersama dalam satu bangsa, bersama-sama dengan agama-agama lainnya. Gereja harus memfokuskan perhatian pada soal-soal kemanusiaan, ekonomi, politik, dengan semangat persatuan dan spiritual bersama.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Adiprasetya, Joas. “Mencari Dasar Bersama” Kritik Global dalam Kajian Postmodernisme dan Pluralisme Agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.
Ali, Muhammad. “Teologi Pluralis-Multikultural”, Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003
Adeney,Bernard T. “Etika Sosial Lintas Budaya”, Yogyakarta: Kanisius, 2000
D’Costa,Cavin (peny.), “Mempertimbangkan kembali Keunikan Agama Kristen”, Mitos Teologi Pluralistis Agama-agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002
Darmaputera Eka (peny.), “Konteks Berteologi di Indonesia”, Buku Penghormatan untuk HUT ke-70 Prof.Dr.P.D.Latuihamallo, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
Hao,Yap Kim. “Dialog heologi in a Pluralistic World”, Singapore: The Methodist Book Room, 1990.
Panitia Penerbit Buku Kenangan Prof.Dr.Olaf Schumann, Balitbang PGI. “Agama dalam Dialog”, Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003
Tanja, Victor I, “Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia”, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Soetarman SP.dkk (peny.), “Fundamentalisme, Agama-agama dan Tekhnologi”, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Sairin, Weinata (peny.). “Kerukunan Umat Beragama, Pilar Utama Kerukunan Berbangsa”, Butir-butir Pemikiran, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.
Subandrijo, Bambang. “Agama dalam Praksis”, Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Yayasan Widya Bhakti, tahun 2003.
Souisa, Nancy N. (peny.). “Geliat Berpikir Mahasiswa Teologi dari Barat hingga Timur Indonesia”, Kumpulan Karya Tulis Ilmiah dan Esai hasil Lomba Karya Tulis dan Esai Mahasiswa Sekolah-sekolah Teologia Anggota Persetia tahun 1999-2001, Jakarta: PERSETIA, 2002.

***Tulisan ini dibuat Pdt.Lastri Likumahwa, sebagai salah satu tugas akhir untuk menyelesaikan study Magister Teologi di SEAGST 2005.




[1] D’Costa Cavin (Peny.) “Mempertimbangkan kembali keunikan Agama Kristen”, Mitos Teologi Pluralitas Agama-agama.Jakarta: Gunung Mulia, 2002, hlm.226.
[2] Pnitia Penerbitan Buku Kenangan Prof.DR. Olaf Schumann, Balitbang PGI. “Agama dalam Dialog”, Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan.Jakarta: Gunung Mulia, 2003, hlm.123.
[3] Hadinoto, N.K.Atmadja. “Dialog dan Edukasi”. Keluarga Kristen dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: Gunung Mulia, 1999,hlm. 46.
[4] Ibid. hlm.48
[5] Sairin, Weinata,M.Th.”Kerukunan Umat Beragama”, Pilar Utama Kerukunan Berbangsa, Butir-butir Pemikiran, Jakarta: Gunung Mulia 2002,hlm. 58.
[6] Ibid,hlm.68.
[7] Ibid.hlm.69.PNSPP= Pembangunan Nasional Sebagai Pengamalan Pancasila.
[8] Tentang hal ini akan dijelaskan dalam bagian berikutnya, tentang pluralisme sebagai kepelbagaian.
[9] D’Costa, Cavin.(Peny.).Op.Cit.hlm.211-212.
[10] Balitbang PGI,Ibid.hlm.176.
[11] Souisa-Gaspersz Nancy N (Peny.).”Geliat Berpikir Mahasiswa Teologi dar Barat hingga Timur Indonesia”,Kumpulan Karya Tulis Ilmiah dan Esai-Hasil Lomba Karya Tulis dan Esai Mahasiswa sekolah-sekolah Tinggi Anggota Persetia tahun 1999-2001, Jakarta: Persetia,2002,hlm.108.
[12] Tanja,Pdt Victor I, “Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia”, Jakarta: Gunung Mulia, 1996, hlm.33
[13] Adiprasetya, Joas.”Mencari dasar Bersama”, Etik Global dalam Kajian Postmodernisme dan Pluralisme Agama, Jakarta: Gunung Mulia, 2002, hlm.50.
[14] Sairin,Weinata,Op.Cit.hlm.99.
[15] D’Costa,Cavin., Op.Cit.,hlm.75.
[16] Subandrijo,Bambang. “Agama dalam Praksis”. Jakarta: Gununbg Mulia dan Yayasan Widhya Bakti (YWB), 2003.,hlm.12.
[17] Soetarman,S.P.dkk.(peny.), “Fundamentalisme Agama-agama dan Tekhnologi”, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996,hlm.68.
[18] Tanja Victor I.Op.Cit.hlm.110.
[19] Balitbang PGI.Op.Cit.hlm.350-351.

Senin, 27 Februari 2012

Profil PGIW Maluku

PROFIL PGIW MALUKU



I.                   PRAWACANA.

Di Yohanes 17: 20-21 Tuhan Yesus berdoa: “Bukan untuk mereka itu saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang yang percaya kepadaKu oleh pemberitaan mereka, supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku”.
Ayat ini menjadi sangat populer di kalangan orang Kristen terutama dalam hubungannya dengan kehidupan bersama sebagai satu persekutuan umat yang percaya. Namun dalam kenyataannya, upaya kebersamaan dan untuk bersatu menjadi sebuah perjuangan yang butuh pengerahan segenap sisi kehidupan bergereja kita di tengah masyarakat plural Indonesia. Tak dapat disangkali banyak tantangan baik yang datang dari luar maupun dari dalam gereja itu sendiri, yang terkadang dapat melemahkan semangat beroikumene dan menimbulkan riak-riak kecil dalam proses berjalan bersama.
PGIW sebagai wadah persekutuan Gereja-Gereja di Wilayah,  secara maksimal terus berupaya bekerja dan berkarya ke arah itu. Demikian pula PGIW Maluku dengan dukungan seluruh Gereja anggota secara terus menerus mengupayakan semangat oikumene bukan saja di kalangan Gereja Anggota melainkan juga dengan Gereja-gereja non PGI dan dalam relasi dengan agama-agama lain. Secara khusus, PGIW Maluku, memiliki concern mengenai semangat beroikumene dan pengembangan wawasan pluralis terkait pemulihan kehidupan masyarakat setelah peristiwa 1999-2003 yang lalu.  Dalam uraian di bawah ini dijelaskan secara ringkas kiprah PGIW Maluku dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat dan perkembangannya.
Rakernas PGIW se-Indonesia akan sangat bermanfaat bagi perkembangan pekerjaan pelayanan dan kesaksian PGIW/Gereja, di tengah dunia.

II.                SEKILAS SEJARAH PEMBENTUKAN PGIW MALUKU

  1. PGIW Maluku sejak 1967-1984.

Lahirnya PGI, 25 Mei 1950 dengan tujuan mewujudkan satu Gereja Kristen yang Esa di Indonesia, telah melahirkan semangat beroikumene di kalangan Gereja-gereja anggota dengan mengisyaratkan pertumbuhan dan perkembangan serta semangat meng-esa berasal dari bawah – tingkat jemaat/wilayah.
Pemikiran tersebut melahirkan keputusan dalam Sidang Raya DGI VI di Makassar untuk membentuk Dewan Gereja Wilayah di wilayah-wilayah yang ada di Indonesia. Itu artinya, keesaan Gereja digumuli pada tingkat wilayah dimana Gereja-gereja berada.
Keanggotaan DGW terdiri dari Gereja-Gereja anggota DGI di suatu wilayah tertentu, sedangkan kegiatan DGW melibatkan Gereja anggota DGI maupun non DGI. Hal ini menunjukkan upaya dan semangat untuk membangun kebersamaan dan persaudaraan (secara informal) tidak dibatasi oleh tembok-tembok organisasi Gereja melainkan semangat meng-esa sebagai pengikut Kristus yang sama-sama mendiami bumi ini secara bertanggung jawab.
Dewan Gereja Wilayah Maluku dibentuk di Ternate pada 5 Pebruari 1967. Pada waktu pembentukannya DGW Maluku didukung oleh 4 Gereja dengan jumlah anggota masing-masing pada waktu itu, sebagai berikut:
Ø  Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), 6000 anggota
Ø  Gereja Masehi Injili Halmahera (GMIH), 15.000 anggota
Ø  Gereja Bala Keselamatan Korps Ambon, 100 anggota
Ø  Gereja Protestan Maluku (GPM), 574.862 anggota
Dalam perkembangannya, DGW Maluku tahun 1978 bertambah anggota dengan masuknya Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) yang jumlah jemaatnya pada waktu itu 200 orang. Hingga Sidang Raya DGI 1984, DGW Maluku beranggotakan 5 Gereja. Sejauh itu, kegiatan DGW Maluku belum nampak implikasinya dalam pertumbuhan oikumenis. Keterlibatan Gereja Katolik perlu dicatat sebagai upaya partisipasi yang cukup baik sebagai Gereja yang sama-sama bertumbuh dan berkembang dalam wilayah dengan situasi, budaya dan keadaan masyarakat yang sama.


III.             PGIW MALUKU TAHUN 1984-SEKARANG

Upaya-upaya menuju kebersamaan dan persekutuan sebagai Gereja-Gereja yang hidup dan berkembang dalam satu wilayah terus dipupuk melalui wadah PGIW. Meskipun Maluku sempat dilanda peristiwa memilukan tahun1999 – 2003 yang berkaitan langsung dengan kehidupan kebersamaan bahkan dalam cakupan yang lebih luas; antar-agama, namun semangat keesaan bahkan wawasan pluralis terus diperjuangkan.
Beberapa kegiatan dapat dicatat sebagai upaya membangun kembali Maluku yang dilakukan oleh PGIW, diantaranya:
1.               Sesuai PTPB Bab VIII menyangkut hubungan kerjasama dengan semua umat beragama khususnya Peraturan Bersama Meteri (PBM) maka PGIW Maluku telah melaksanakan Seminar Sehari dengan tema: Management Pluralisme Dalam Bingkai NKRI.  Kegiatan ini melibatkan seluruh Gereja Anggota PGIW Maluku, PGPI, dan Gereja Katolik.
2.               Dalam hubungan antar-Gereja, PGIW Maluku mengadakan  Doa Untuk Bangsa dan Kemanusiaan, dengan melibatkan Keuskupan Amboina, PGPI dan Gereja-Gereja Anggota PGIW Maluku.
3.               TOT Dokumen Keesaan Gereja  dengan mengundang SEKUM PGI Dr.Richard Daulay, telah dilaksanakan dalam kerangka proses pemberdayaan wanita, laki-laki, pemuda dan anak, dalam lingkup PGIW Maluku.
4.               Kegiatan-kegiatan menyangkut HUT maupun hari-hari raya gerejawi, selalu dilaksanakan dalam kebersamaan dengan Gereja-Gereja anggota maupun Gereja-gereja non PGI, secara rutin.
Dengan dibentuknya kembali Komisi-komisi yang baru di PGIW Maluku, semangat beroikumene terus berkembang. Kegiatan yang dianggap signifikan dalam proses membangun hidup bersama adalah “perjumpaan”. Semakin sering Gereja-Gereja anggota berjumpa (dalam berbagai ivent), maka semakin sering terjadi interaksi, proses saling mengenal dan belajar memahami satu sama lain serta mengupayakan adanya kesadaran bersama tentang tanggung jawab pemberitaan Injil dan tanggung jawab bersama atas “rumah kediaman bersama” yakni bumi ciptaan Tuhan ini untuk dipelihara dan dijadikan sebagai rumah yang aman dan membawa sejahtera bagi seluruh penghuninya.
      Dalam perjalanan pelayanannya, PGIW Maluku terus mengalami pertambahan anggota. Namun demikian ada juga salah satu anggota yang memisahkan diri. GMIH sebagai salah satu Gereja Anggota yang pertama dalam pembentukan PGIW Maluku, akhirnya memisahkan diri dari PGIW Maluku sejak 2002 karena pemekaran Provinsi Maluku menjadi Maluku dan Maluku Utara. Hal tersebut dibicarakan dalam Sidang Wilayah di Manado. Sebenarnya tidak otomatis demikian. Peranan GMIH dalam PGIW sejak berdirinya dan dalam perkembangannya sangat besar. Dalam beberapa periode kepemimpinan PGIW, jabatan Sekretaris Umum  selalu dipercayakan kepada GMIH. Menjadi pemicu semangat meng-esa bagi Gereja-Gereja Anggota yang lain, aalah karena ada 2 pusat Sinode, yakni GPM dan GMIH. Namun karena alas an yang sudah disebutkan tadi, sekarang hanya GPM yang pusat sinodenya di Ambon/Maluku.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa dalam beberapa waktu tertentu sepertinya GMIH kurang diberikan peluang. Terkait dengan itu maka perlu dicatat bahwa kesetaraan antar-gereja perlu dibangun dan dipupuk sebagai modal persatuan dan persekutuan. Gereja yang besar (secara kuantitas) ataupun Gereja yang kecil adalah  memiliki fungsi dan peran serta tanggung jawab yang sama dalam lingkup PGIW. Hal ini perlu menjadi perhatian dalam perjalanan PGIW ke depan.
      Sekalipun demikian, dalam uraian ini kami perlu pula mencatat upaya positif yang telah diperjuangkan oleh PGIW Maluku dalam tanggung jawab pelayanan dan kesaksian yang diembannya.
Semangat keesaan nampak semakin bertambah justru ketika peristiwa  1999-2003 melanda Maluku. Rasa keesaan bertambah kuat ketika tantangan datang. Banyak kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan tentunya dengan semangat kebersamaan melalui wadah PGIW Maluku. Sangat nampak bagaimana tantangan mempererat hubungan antar-gereja. Namun ketika situasi semakin kondusif, semangat keesaanpun menjadi menurun. Masing-masing Gereja sibuk dengan dirinya sendiri dan hanya berjumpa dalam acara-acara seremonial tertentu saja. Hal tersebut menunjukkan kesadaran keesaan sangat minim dan hanya nampak pada permukaan saja. Tak dapat disangkal, sikap-sikap eksklusif, triumfalistik masih terus mewarnai persekutuan meskipun tidak menimbulkan dampak negative yang controversial. Dari pengalaman-pengalaman tersebut PGIW Maluku sungguh-sungguh menyadari betapa pentingnya kesadaran oikumenis perlu ditingkatkan dengan kegiatan-kegiatan praktis di lapangan dan perjumpaan secara kontinyu sebagai saudara sejati di dalam Kristus.

Keanggotaan PGIW Maluku saat ini adalah sebagai berikut:
  1. Gereja Protestan Maluku (GPM)
  2. Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS)
  3. Gereja Bethel Indonesia (GBI)
  4. Gereja Sidang-Sidang Jemaat Allah (GSJA)
  5. Gereja Kasih Karunia Indonesia (GEKARI)
  6. Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS)
  7. Gereja Tuhan di Indonesia (GTdI)
  8. Gereja Suara Ketebusan (GSK)
  9. Gereja Kristen Perjanjian Baru (GKPB)
  10. Gereja Kristen Kalam Kudus (GKKK)
  11. Gereja Bala Keselamatan Korps Ambon (GBK)
  12. Gereja Kristen Protestan Injili Indonesia (GKPII)

Majelis Pekerja Harian PGIW Maluku, sebagai berikut:
1. Ketua Umum                : Pdt.Dr.J.Chr.Ruhulessin,M.Si.
2. Ketua I                          : Pdt.P.Edwin Kembauw
3. Ketua II                                    : Pdt.Kapten Sugeng Purnomo
4. Sekretaris Umum          : Pdt.Ny.L.Likumahwa,M.Th.
5.Wakil Sekretaris             : Pdt.Ir.S.M.Taribuka
6. Bendahara                     : Pdt.Ny.D.Pelmelay
7. Wakil Bendahara          : Ev.Hendry
8. Anggota                                    : - Pemuda       : Ev.S.Farneyanan
                                            - Wanita        : Ev. Ny.N. Pattirane
                                            - MPL            : Pdt.Ir.D.Souhoka,MP.

IV.             MENUJU MASA DEPAN

*      PGIW tetap memiliki harapan menuju masa depan. Sebuah harapan yang menyatu dengan harapan Tuhan Yesus dalam doaNya: “…agar mereka menjadi satu…”. Dengan ini berarti keesaan Gereja  tidak dipahami hanya sekadar keesaan secara structural atau keesaan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat gerejawi saja melainkan melibatkan seluruh hidup. Oikumene mencakup baik hidup bergereja maupun hidup bermasyarakat. 
Bertolak dari pemahaman seperti itu, maka lingkup kesaksian dan pelayanan PGIW Maluku mencakup hubungan Gereja-Negara, Gereja-Agama-agama dan Lingkungan Hidup, Hubungan Gereja-Gereja dan Pemberdayaan. Pembagian ini merupakan upaya pengimplementasian Dokumen Keesaan Gereja secara khusus PTPB secara lebih jelas. Sebab sesungguhnya lingkup kesaksian dan pelayanan kita mencakup hubungan-hubungan tersebut dan Pemberdayaan Pelayan dan Warga Gereja.
PGIW Maluku tetap memberikan arahan dan dorongan tentang reevangelisasi yang mesti dilakukan oleh masing-masing Gereja anggota terhadap warganya, sehingga warga Gereja diperhadapkan dengan panggilan untuk membarui komitmen imannya. Ini sangat diperlukan sebab banyak warga Gereja telah kehilangan motivasi Injili di tengah kemajuan zaman. Selain itu, PGIW juga memberi dorongan agar hubungan antar-gereja ditandai dengan sesuatu yang konkret; saling menolong. Menopang dan menghargai satu sama lain. Sebagai mitra, Gereja-Gereja Anggota semestinya dapat melaksanakan berbagai program pembaruan untuk saling menguatkan.
*      Gereja memang tidak dapat berhenti untuk mengabarkan Injil, sama seperti agama missioner lainnya. Tetapi kita yakin bahwa seseorang menjadi percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan adalah karena kuasa Roh Kudus (1 Kor.12:3). Aspek lain dari Injil yang tidak boleh dikesampingkan adalah meliputi soal kebebasan, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan yang dikehendaki Tuhan untuk dunia. Ini adalah panggilan kemanusiaa bagi Gereja untuk direalisasikan dalam kehidupan bersama tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan. Dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab ini, Gereja berjumpa dengan pemerintah, agama-agama dan lembaga-lembaga lainnya. Kerjasama adalah kunci dari keberhasilan (setidaknya pencapaian yang maksimal) dari upaya bersama dan untuk kepentingan bersama.
*      PGIW Maluku sebagai bagian integral dari masyarakat Indonesia, sudah sepatutnya mensyukuri kemajemukan agama (dan realitas plural) di Indonesia sebagai karunia Tuhan. Kemajemukan agama bukan saja realitas sosiologis melainkan juga adalah kebenaran teologis. Karena itu kerjasama dengan umat beragama lainnya dan semua golongan perlu perlu dibangun dalam menanggulangi masalah-masalah bersama, antara lain kemiskinan, keadilan, perdamaian, sekularisme, konsumerisme, kelestarian lingkungan, HAM, KKN dan pemberdayaan masyarakat.
*      PGIW Maluku dalam tanggung jawab pelayanan dan kesaksiannya, menetapkan Visi dan Misi berdasar pada Arah Kebijakan yang sudah dirumuskan dan menjadi panduan menuju masa depan.


V.                PENUTUP

PGIW Maluku berjalan bersama anggota Gereja lainnya, dalam semangat oikumenis terus berpacu di tengah tantangan zaman yang datang silih berganti. PGIW menjadi bagian dari yang lainnya, sebagai wadah oikumenis dimana Gereja-Gereja bertemu untuk saling berbagi, saling menguatkan dan saling menopang untuk tugas panggilan memberitakan Injil kepada segala makhluk.
Keterbukaan dan kesadaran oikumenis mesti dimiliki oleh setiap anggota gereja yang dinampakkan dalam aksi bersama dan untuk kepentingan bersama pula. Semuanya mengacu pada tugas panggilan bersama sebagai gereja Tuhan yang ditempatkan di bumi yang satu ini, sebagai rumah bersama. Kita hidup, berkarya dan membangun dalam kesadaran dan tanggung jawab kepada Dia Sang Kepala Gereja. Kristus datang ke dunia dan menyatakan kasihNya kepada semua orang. Inilah yang harus menjadi perspektif Gereja yang berkarya dan melayani.
“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia, bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.”


                                                                                       Ambon, 2 Mei 2009



                                                                                    Pdt.Lastri Likumahwa